Rabu, 09 Oktober 2013

KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama.

B.  Rumusan masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan jual beli?
2.         Apa yang dimaksud kiyar?
3.         Apa yang dimahksud masqoh, muzara’ah dan muqobaroh?


PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Makna Jual Beli
Jual beli artinya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain, kata dalam bahasa arab terkadang di gunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata; (البيع) beli. Dengan demikian kata (البيع) berarti kata jual dan sekaligus juga berarati “beli”.[1]
Secara terminologi jual beli dapat di definisikan sebagai berikut:
Menukar barang dengan barang atau barang  dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafi’iyah : 5)
Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)[2]
Menurut ulama hanafiyah Jual beli adalah saling menukarkan harta dangan harta melalui cara tertentu.” atau tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
Menurut said sabiq jual beli adalah saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
Menurut Imam An-Nawawi jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan.[3]
2. Landasan Hukum
Dasar hukum atu landasan mengenai jual beli ini disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi dan Ijma; para ulama’ yakni:
1)      Al Qur’an
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS.Al baqarah ayat 275).[4]
2)       Hadits Nabi
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَننِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَفَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”[5]
3)      Ijma’
Ulama’ telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti denganbarang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah Mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bias Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadisunnah, wajib, haram, dan makruh.
3. Syarat dan Rukun
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Keadaan bendanya suci.
2. Bendanya dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3.  Bendanya dapat diterimakan atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Barang yang dijual belikan.
2. Orang yang membeli dan menjual barang.
3. Ijab qobul.[6]
6. Hikmah dan anjuran jual beli
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah bahasa Arab disebut jual beli.[7]

B.   Aturan Islam Tentang Khiyar
1.    Pengetian khiyar
Kata khiyar berasal dari bahasa arab yang berarti pilihan atau mencari kebaikan dari dua perkara dalam hal ini meliputi melanjutkan atau membatalkan,secara terminologi para ulama fiqh mendefenisikan khiyar dengan

أَن يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِالْخِيَارُبَيْنَ اِمْضَاءِالْعَقْدِ وَعَدَمِ اِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رَفَقَا

“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melansungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Hak khiyar ditetapkan syari’at islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar menurut ulama fiqh adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[8]

2.    Macam-macam khiyar
1. Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majlis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa menyewa.
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqh adalah
انْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ الْعَاقِدِيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مُجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَا بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الأَخَرَ فَيُخْتَارُلُزُوْمُ الْعَقْدِ
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”[9]
Dasar hukum adanya khiyar majlis adalah sabda rasulullah saw yang berbunyi :
أذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
“Apabila dua orang malakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan....(HR Bukhari dan Muswlim dari Abdullah ibn Umar)
2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu”
Khiyar syarat menurut pengertian ulama fiqh adalah
أَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهِمَاالْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَائِهِ خِلّالَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ
“Suatu keadaan yang membolahkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[10]
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa khiyar syarat itu dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut jumhur ulama fiqh harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau selamanya maka khiyar tidak sah. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya waktu khiyar syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zubair ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi dan Imam Syafi’i tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak lebih dari 3 hari. Sebagaimana sabda rasulullah saw :
أِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَخِلَابَة وَلِيَ الْخِيَارُثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
”Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada penjual): jangan ada tipuan! dan saya berhak memilih dalam 3 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggang waktu itu ditentukan sesuai dengan keperluan dan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap objek akad.[11]
Khiyar syarat dapat gugur dengan 3 cara
a.  Pengguguran jelas (shariah)
Pengguguran shariah adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar.
b.  Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktivitas pada barang) dari pelaku khiyar.
c.  Pengguguran dengan kemadaratan
Pengguguran ini terdapat dalam beberapa keaadaan, anatara lain : 1. Habis waktu, 2. Kematian orang yang memberikan syarat.[12]
3.    KhiyarAib
Khiyar ‘aib yaitu hak untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlansung. Misalnya seseorang membeli telur ayam satu kilogram kemudian satu butir diantaranya sudah busuk hal ini sebelumnya belum diketahui baik bagi penjual atau pembeli.
Menurut ulama fiqh khiyar ‘aib itu adalah
ااَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَاءِهِ اِذَاوُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ
“Keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dasar hukum khiyar ‘aib ini diantaranya adalah sabda rasulullah saw, yang berbunyi :
لْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمِ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ أِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada baraang terdapat ‘aib kecuali dijelaskan terlebih dahulu. (HR. ad-Daruqutni dan Abu Hurairah)”
Khiyar ‘aib ini, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjual belikan walaupun akad sudah berlansung cukup lama dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara lansung. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat.
Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar ‘aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada cacat pada barang itu adalah :
a. Cacat itu diketahui sebelum atau sesudah akad tetapi belum serah terima barang dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama.
b. Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlansung.
c. Ketika akad berlansung, pemilik barang tidak mengisyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan, menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah bahwa seorang penjual tidak sah meminta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib.
d. Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembataalaan akad.
4.    Khiyar Ru’yah
Yang dimaksud dengan khiyar ru’yah yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyakatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlansung. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam islam berdasarkan sabda Nabi :
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ أِذَا رَآه
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu.(HR. ad-Daruqutnu dan Abu Hurairah)”
Akad seperti ini, menurut mereka boleh terjadi disebabkan obyek yang akan dibeli itu tidak ada ditempat berlangsungnya akad atau tersimpan dalam sesuatu yang menjadi penghalang bagi pembeli untuk melihat langsung. Dan khiyar ini berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dibeli.
Akan tetapi ulama Syafi’iyah, dalam al-mazhab al jaded menyatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik baraang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad mengandung unsur penipuan yang membawa kepada perselisihan dan hadist rasulullah menyatakan :
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ غَرَرٍ
“Rasulullah saw melarang jual beli barang yang mengandung penipuan.(HR. al-Jama’ah, kecuali Bukhari)”
Hadist yang dikemukanan jumhur di atas menurut meraka adalah hadist dha’if,tidak boleh dijadikan dasar hukum.
Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah :
a. Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
b. Objek akad berupa materi seperti tanah atau rumah.
c. Akad itu mempunyai alternatif untuk dibatalkan seperti jual beli atau sewa menyewa.[13]

C. Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah
1      Pengertian Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah
a.    Pengertian Musaqah
Musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun dan penggarapnya, sehingga kebun tersebut menghasilkan sesuatu, kemudian hasilnya dibagi sesuai perjanjian yang disepakati. Dikatan pula, musaqah merupakan kerja sama usaha di bidang pertanian penggarap. Caranya, pemilik menyerahkan kebunnya itu berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Hukum musaqah adalah mubah (boleh), bahkan sebagai para ulama fiqih menyebutnya sebagai sunnah, sabda Rasulullah saw. :
عن ابن عمر ان النبي صلعم عامل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع (رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dalam perjanjian. Mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah ataupun hasil per tahun (palawija) (H.R. Muslim).[14]
b.    Pengertian Muzara'ah
Muzara'ah adalah kerja sama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap, dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak penggarap, hasilnya kemudian dibagi sesuai kesepakatan.
Kerjasama muzara'ah ini biasanya dilakukan dalam bidang tanaman yang benih dan biayanya relative murah dan terjangkau, seperti tanaman padi, jagung, gandum, kacang, dsb. Hokum muzara'ah pada dasarnya mubah (boleh), bahkan ada sebagian ulama yang menyebutkan sunnah. Sabda Rasulullah saw. :
عن ابن عباس ر.ع. قال : أن النبي صلعم لم يحرّم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان لم فليمسك ارضه (رواه بخاري مسلم)
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : Sesungguhnya nabi saw. Tidak mengharamkan muzara'ah, bahkan beliau menyuruh supaya yang sebagian menyayangi yang sebagian dengan katanya : Barang siapa yang punya tanah hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya kepada saudaranya dan jika ia tidak mau, maka biarkan saja tanah itu (H.R. Bukhari Muslim).[15]
c.    Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Perbedaan antara muzara'ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman dan biaya garapannya. Apabila benih dan biaya garapan berasal dari petani penggarap disebut muzara'ah, tetapi jika berasal dari pemilik tanah maka disebut mukhabarah.. Hukum mukhabarah sama dengan muzara'ah, yaitu boleh (mubah), berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
عن طاوس ر.ع. انه كان يخابر قال عمر فقلت له يا عبد الرحمن لو تركت هذه المخابرة فانهم يزعمون ان النبي صلعم نهى عن المخابرة
Dari thawus r.a. bahwa ia suka bermukhabarah. Berkata Umar, lalu aku katakan kepadanya : Ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengira bahwa Nabi saw. telah melarang mukhabarah.[16]
2      Syarat dan Hukum Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah[17]
a.       Syarat musaqah, muzara'ah dan mukhabarah
Baik musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, semuanya merupakan akad pekerjaan yang boleh dilakukan setelah mencukupi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara'. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
1.     Akad dilaksanakan terlebih dahulu sebelum dibuatkan perjanjian dan kesepakatan, mengingat musaqah, muzara'ah dan mukhabarah merupakan akad pekerjaan.
    1. Tanaman yang dipelihara hendaknya jelas dan dapat diketahui oleh kedua belah pihak.
    2. Waktu penggarapan atau pemeliharaan harus jelas batasnya, apakah satu tahun, satu musim, satu kali panen, atau lebih dari itu, maksudnya agar tidak ada pihak yang dirugikan dan terhindar dari unsure penipuan oleh satu pihak.
    3. Persentase pembagian harus jelas dan pasti, baik bagi penggarap maupun pemilik tanah.
b.      Rukun musaqah, muzara'ah dan mukhabarah
Setelah syarat-syarat terpenuhi, rukun-rukun akad pun harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, yakani : 1. Pemilik dan penggarap, 2. Tanaman yang dipelihara, 3.Kebun, sawah, dan lading, 4. Pekerjaan dengan ketentuan jelas, baik waktu, jenis, maupun lainnya, 5. Hasil yang diperoleh harus jelas, apakah berupa buah, biji, umbi, kayu, daun, akar atau yang lainnya, 6. Ijab qabul, yaitu akad transaksi yang harus dilakukan, baik melalui lisan, tulisan, isyarat, maupun yang lainnya.
c.       Hikmah Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah
Disyaratkannya musaqah, muzara'ah dan mukhabarah karena dapat mendatangkan hikmah yang sangat besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat luas. Diantara hikmah yang dapat dipetik sebagai berikut :
1. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
2. Terjalinnya silaturrahmi dan hilangnya jurang pemisah antara orang kaya sebagai tuan tanah dengan orang miskin sebagai penggarap.
3. Turut membantu menyediakan lapangan pekerjaan kepada orang yang tidak memiliki modal usaha atau perkebunan dsb.
4. Terhindar dari praktek penipuan, pemerasan, dsb, karena dalam akad musaqah, muzara'ah dan mukhabarah harus ada kejelasan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh kedua belah pihak.
5. Turut menciptakan pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan, karena harta tidak hanya berputar dari satu kelompok saja.
6. Mengikuti sunah rasulullah saw. yang termasuk perbuatan ibadah


PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologi, al-bai’ merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab bâ’a , maksudnya penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan Tentang disyariatkannya jual beli tercantum dalam alquran, sunnah, ijma’, dan qiyas.Jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua, yaitu jual beli yang shahih dan jual beli yang batal.Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah/shahih/halal.Sebaliknya apabila rukun dan syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.
. Khiyar artinya “Boleh memilih antara dua, meneruskan akad jul beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu. Pembagian khiyar di bagi menjadi empat yaitu: Khiyar majlis, Khiyar, khiyar aib.dan Khiar Ru’yah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.   Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.m  Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Al Aziz, ,Saoifullah, Fiqih Islam Lengkap,  Surabaya: Terbit Terang, 2005.
Ali, Hasan, Berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat, ,Jakarta: PT.RajaGrafindo persada, 2003.
AlQur’an dan Terjemahannya
http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah
Muslich. Ahmad wari. Fiqih Mu’amalah, Jakarta: amzah,2010.
Nasrun, Haroen,  Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Suhardi, Kathur, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2002.
Suhendi, Hendi,  Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta:  Bulan Bintang.
Suhendi,.Hendi, Fiqih muamalah, Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Syafe’i, Rachmad,  Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir, Garis Garis Besar Fiqh, jakarta: kencana,2003.



[1]Hasan ali , Berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat), jakarTa: PT.RajaGrafindo persada, 2003. Hal.11
[3] Opcit.hal113-114
[4] AlQur’an dan Terjemahannya
[5]Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), Hal. 580
[6] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 117
[7] Syarifuddin amir, Garis Garis Besar Fiqh, jakarta: kencana,2003.hal.195
[8] Nasrun Haroen,  Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama, 2007,Jakarta,  h. 129
[9] Rachmad Syafe’i, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, 2001, Bandung, h. 113
[10] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 103
[11] Nasrun Haroen,  Op Cit,  h. 134
[12] Rachmad Syafe’i, Op Cit, h. 108-111
[13] Saoifullah Al Aziz, Fiqih Islam Lengkap ( Surabaya: Terbit Terang, 2005), 337.
[14] Muslich. Ahmad wari. Fiqih Mu’amalah (Jakarta: amzah,2010), hal.391
[15] Hendi suhendi. Fiqih muamalah (Jakarta:RajaGrafindo Persada), hal 145
[16] Hendi Suhendi, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar