KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang
ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari
dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan
Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah
penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar
menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan
(akad) tertentu atas dasar suka sama.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan jual beli?
2.
Apa yang
dimaksud kiyar?
3.
Apa yang
dimahksud masqoh, muzara’ah dan muqobaroh?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Dasar
Hukum Jual Beli
1.
Makna Jual Beli
Jual beli artinya menjual, mengganti,
dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain, kata dalam bahasa arab terkadang
di gunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata; (البيع) beli. Dengan demikian kata (البيع) berarti kata jual dan sekaligus juga
berarati “beli”.[1]
Secara terminologi jual beli dapat di
definisikan sebagai berikut:
Menukar barang dengan barang atau
barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik yang satu kepada
yang lain atas dasar saling merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafi’iyah : 5)
Aqad yang tegak atas dasar penukaran
harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi
Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)[2]
Menurut ulama hanafiyah Jual beli adalah
saling menukarkan harta dangan harta melalui cara tertentu.” atau tukar menukar
sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.”
Menurut said sabiq jual beli adalah
saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
Menurut Imam An-Nawawi jual beli adalah
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan.[3]
2.
Landasan Hukum
Dasar hukum atu landasan mengenai jual
beli ini disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi dan Ijma; para ulama’
yakni:
1) Al
Qur’an
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya: Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba (QS.Al baqarah ayat 275).[4]
2) Hadits Nabi
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضيَ
اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَننِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ
مَالَمْ يَتَفَرَّقَا وَ كَانَا جَمِيْعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَفَتَبَايَعَا
عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا
وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu
Anhuma, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, jika dua orang saling
berjual-beli, maka masing-masing di antara keduannya mempunyai hak pilih selagi
keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah
seorang di antara keduanya membei pilihan kepada yang lain, lalu keduanya
menetapkan jual-beli atas dasar pilihan itu, maka jual-beli menjadi wajib.”[5]
3)
Ijma’
Ulama’
telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya
itu, harus diganti denganbarang lainnya yang sesuai. Mengacu
kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual
beli adalah Mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum
jual beli itu bias Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli
itu bisa berubah menjadisunnah, wajib, haram, dan makruh.
3.
Syarat dan Rukun
Syarat Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Keadaan bendanya suci.
2. Bendanya dapat diambil
manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.
3. Bendanya dapat diterimakan
atau diserahkan kepada pihak pembeli.
Rukun Jual Beli adalah Sebagai Berikut:
1. Barang yang dijual belikan.
2. Orang yang membeli dan menjual
barang.
3. Ijab qobul.[6]
6.
Hikmah dan anjuran jual beli
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli
itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan
hartanya. Seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya.
Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya
itu ada ditangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta
yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak
diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah
bahasa Arab disebut jual beli.[7]
B. Aturan
Islam Tentang Khiyar
1.
Pengetian khiyar
Kata khiyar berasal dari bahasa arab yang berarti pilihan atau mencari kebaikan dari dua
perkara dalam hal ini meliputi melanjutkan atau membatalkan,secara
terminologi para ulama fiqh mendefenisikan khiyar dengan
أَن
يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِالْخِيَارُبَيْنَ اِمْضَاءِالْعَقْدِ وَعَدَمِ
اِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رَفَقَا
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang
melaksanakan transaksi untuk melansungkan atau membatalkan transaksi yang
disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Hak khiyar ditetapkan syari’at islam bagi orang-orang
yang melakukan transaksi agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka
lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai
dengan sebaik-baiknya. Status khiyar menurut ulama fiqh adalah disyari’atkan
atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[8]
2.
Macam-macam khiyar
1.
Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang
berakad untuk membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majlis akad
dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah
apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau
salah seorang diantara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual atau
membeli. Khiyar
seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat mengikat kedua
belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa menyewa.
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqh adalah
انْ يَكُوْنَ لِكُلٍّ مِنَ
الْعَاقِدِيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مُجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ
يَتَفَرَّقَا بِأَبْدَانِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُهُمَا الأَخَرَ فَيُخْتَارُلُزُوْمُ
الْعَقْدِ
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk
membatalkan akad selagi masih berada di tempat dan kedua pihak belum
berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”[9]
Dasar hukum adanya khiyar majlis adalah sabda rasulullah
saw yang berbunyi :
أذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ
فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا...
“Apabila dua orang malakukan akad jual beli, maka
masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah
badan....(HR Bukhari dan Muswlim dari Abdullah ibn Umar)
2. Khiyar
Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah
satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan
atau membatalkan jual beli selama masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan. Misalnya
pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak
memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu”
Khiyar syarat menurut pengertian ulama fiqh adalah
أَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ
لِغَيْرِهِمَاالْحَقُّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِ اَوْاِمْضَائِهِ خِلّالَ مُدَّةٍ
مَعْلُوْمَةٍ
“Suatu keadaan yang membolahkan salah seorang yang akad
atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak
atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[10]
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa khiyar syarat
itu dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur
penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
Tenggang waktu dalam khiyar syarat menurut jumhur ulama
fiqh harus jelas. Apabila tenggang waktu khiyar tidak jelas atau selamanya maka
khiyar tidak sah. Para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya waktu khiyar
syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zubair ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi dan Imam
Syafi’i tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak lebih dari 3 hari. Sebagaimana
sabda rasulullah saw :
أِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لاَخِلَابَة وَلِيَ
الْخِيَارُثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
”Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah
(pada penjual): jangan ada tipuan! dan saya berhak memilih dalam 3 hari. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggang waktu itu
ditentukan sesuai dengan keperluan dan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap
objek akad.[11]
Khiyar
syarat dapat gugur dengan 3 cara
a. Pengguguran jelas (shariah)
Pengguguran
shariah adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar.
b. Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf
(beraktivitas pada barang) dari pelaku khiyar.
c. Pengguguran dengan kemadaratan
Pengguguran
ini terdapat dalam beberapa keaadaan, anatara lain : 1. Habis waktu, 2. Kematian
orang yang memberikan syarat.[12]
3. Khiyar “Aib
Khiyar ‘aib yaitu hak untuk membatalkan atau melanjutkan
jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat
pada objek yang diperjual belikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya
ketika akad berlansung. Misalnya
seseorang membeli telur ayam satu kilogram kemudian satu butir diantaranya
sudah busuk hal ini sebelumnya belum diketahui baik bagi penjual atau pembeli.
Menurut
ulama fiqh khiyar ‘aib itu adalah
ااَنْ يَكُوْنَ لِاَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ الْحَقُّ فِى فَسْخِ
الْعَقْدِ اَوْاِمْضَاءِهِ اِذَاوُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْلَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ
عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ
“Keadaan
yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad
atau menjadikannya ketika ditemukan ‘aib (kecacatan) dari salah satu yang
dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”
Dasar
hukum khiyar ‘aib ini diantaranya adalah sabda rasulullah saw, yang berbunyi :
لْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ
يَحِلُّ لِمُسْلِمِ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ أِلاَّ بَيَّنَهُ
لَهُ
“Sesama
muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada
muslim lain, padahal pada baraang terdapat ‘aib kecuali dijelaskan terlebih
dahulu. (HR. ad-Daruqutni dan Abu Hurairah)”
Khiyar
‘aib ini, berlaku sejak diketahuinya cacat pada barang yang diperjual belikan
walaupun akad sudah berlansung cukup lama dan dapat diwarisi oleh ahli waris
pemilik hak khiyar.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah
diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara
lansung. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan
akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat.
Adapun
syarat-syarat berlakunya khiyar ‘aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada
cacat pada barang itu adalah :
a.
Cacat itu diketahui sebelum atau sesudah akad tetapi belum serah terima barang
dan harga atau cacat itu merupakan cacat lama.
b. Pembeli
tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlansung.
c. Ketika
akad berlansung, pemilik barang tidak mengisyaratkan bahwa apabila ada cacat
tidak boleh dikembalikan, menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah bahwa seorang
penjual tidak sah meminta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib.
d. Cacat
tidak hilang sampai dilakukan pembataalaan akad.
4. Khiyar Ru’yah
Yang
dimaksud dengan khiyar ru’yah yaitu hak pilih bagi pembeli untuk
menyakatakan berlaku atau batal
jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad
berlansung. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah,
Hanabilah dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam islam
berdasarkan sabda Nabi :
مَنِ اشْتَرَى شَيْئًا لَمْ يَرَهُ
فَهُوَ بِالْخِيَارِ أِذَا رَآه
“Siapa
yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu.(HR. ad-Daruqutnu dan Abu Hurairah)”
Akad
seperti ini, menurut mereka boleh terjadi disebabkan obyek yang akan dibeli itu
tidak ada ditempat berlangsungnya akad atau tersimpan dalam sesuatu yang
menjadi penghalang bagi pembeli untuk melihat langsung. Dan khiyar ini berlaku
sejak pembeli melihat barang yang akan dibeli.
Akan
tetapi ulama Syafi’iyah, dalam al-mazhab al jaded menyatakan bahwa jual beli
barang yang gaib tidak sah, baik baraang itu disebutkan sifatnya waktu akad
maupun tidak. Oleh sebab itu khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad
mengandung unsur penipuan yang membawa kepada perselisihan dan hadist
rasulullah menyatakan :
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ غَرَرٍ
“Rasulullah
saw melarang jual beli barang yang mengandung penipuan.(HR. al-Jama’ah, kecuali
Bukhari)”
Hadist
yang dikemukanan jumhur di atas menurut meraka adalah hadist dha’if,tidak boleh
dijadikan dasar hukum.
Jumhur
ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar ru’yah :
a. Obyek
yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
b. Objek
akad berupa materi seperti tanah atau rumah.
c.
Akad itu mempunyai alternatif untuk dibatalkan seperti jual beli atau sewa
menyewa.[13]
C. Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah
1 Pengertian Musaqah, Muzara'ah dan
Mukhabarah
a. Pengertian Musaqah
Musaqah
adalah kerjasama antara pemilik kebun dan penggarapnya, sehingga kebun tersebut
menghasilkan sesuatu, kemudian hasilnya dibagi sesuai perjanjian yang
disepakati. Dikatan pula, musaqah merupakan kerja sama usaha di bidang
pertanian penggarap. Caranya, pemilik menyerahkan kebunnya itu berdasarkan
persentase yang telah disepakati.
Hukum
musaqah adalah mubah (boleh), bahkan sebagai para ulama fiqih menyebutnya
sebagai sunnah, sabda Rasulullah saw. :
عن
ابن عمر ان النبي صلعم عامل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع (رواه مسلم
Dari Ibnu
Umar, sesungguhnya Nabi saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dalam perjanjian. Mereka akan diberi
sebagian dari penghasilannya, baik dari buah ataupun hasil per tahun (palawija)
(H.R. Muslim).[14]
b. Pengertian Muzara'ah
Muzara'ah
adalah kerja sama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan
penggarap, dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak penggarap,
hasilnya kemudian dibagi sesuai kesepakatan.
Kerjasama
muzara'ah ini biasanya dilakukan dalam bidang tanaman yang benih dan biayanya
relative murah dan terjangkau, seperti tanaman padi, jagung, gandum, kacang,
dsb. Hokum muzara'ah pada dasarnya mubah (boleh), bahkan ada sebagian ulama
yang menyebutkan sunnah. Sabda Rasulullah saw. :
عن
ابن عباس ر.ع. قال : أن النبي صلعم لم يحرّم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض
بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان لم فليمسك ارضه (رواه بخاري
مسلم)
Dari Ibnu Abbas
r.a. berkata : Sesungguhnya nabi saw. Tidak mengharamkan muzara'ah, bahkan
beliau menyuruh supaya yang sebagian menyayangi yang sebagian dengan katanya :
Barang siapa yang punya tanah hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya dan jika ia tidak mau, maka biarkan saja tanah itu (H.R.
Bukhari Muslim).[15]
c. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah
adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan
penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya
menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang
telah disepakati.
Perbedaan
antara muzara'ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman dan biaya
garapannya. Apabila benih dan biaya garapan berasal dari petani penggarap
disebut muzara'ah, tetapi jika berasal dari pemilik tanah maka disebut
mukhabarah.. Hukum mukhabarah sama dengan muzara'ah, yaitu boleh (mubah),
berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
عن
طاوس ر.ع. انه كان يخابر قال عمر فقلت له يا عبد الرحمن لو تركت هذه المخابرة
فانهم يزعمون ان النبي صلعم نهى عن المخابرة
Dari
thawus r.a. bahwa ia suka bermukhabarah. Berkata Umar, lalu aku katakan
kepadanya : Ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti
mereka mengira bahwa Nabi saw. telah melarang mukhabarah.[16]
2 Syarat dan Hukum Musaqah, Muzara'ah
dan Mukhabarah[17]
a.
Syarat musaqah, muzara'ah dan mukhabarah
Baik
musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, semuanya merupakan akad pekerjaan yang boleh
dilakukan setelah mencukupi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara'.
Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut :
1. Akad dilaksanakan terlebih dahulu
sebelum dibuatkan perjanjian dan kesepakatan, mengingat musaqah, muzara'ah dan
mukhabarah merupakan akad pekerjaan.
- Tanaman yang dipelihara hendaknya jelas dan dapat
diketahui oleh kedua belah pihak.
- Waktu penggarapan atau pemeliharaan harus jelas
batasnya, apakah satu tahun, satu musim, satu kali panen, atau lebih
dari itu, maksudnya agar tidak ada pihak yang dirugikan dan terhindar
dari unsure penipuan oleh satu pihak.
- Persentase pembagian harus jelas dan pasti, baik bagi
penggarap maupun pemilik tanah.
b.
Rukun musaqah, muzara'ah dan mukhabarah
Setelah
syarat-syarat terpenuhi, rukun-rukun akad pun harus dilaksanakan dan dipenuhi
oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, yakani : 1. Pemilik dan penggarap, 2.
Tanaman yang dipelihara, 3.Kebun, sawah, dan lading, 4. Pekerjaan dengan
ketentuan jelas, baik waktu, jenis, maupun lainnya, 5. Hasil yang diperoleh harus
jelas, apakah berupa buah, biji, umbi, kayu, daun, akar atau yang lainnya, 6. Ijab
qabul, yaitu akad transaksi yang harus dilakukan, baik melalui lisan, tulisan,
isyarat, maupun yang lainnya.
c.
Hikmah Musaqah, Muzara'ah dan Mukhabarah
Disyaratkannya
musaqah, muzara'ah dan mukhabarah karena dapat mendatangkan hikmah yang sangat
besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat luas. Diantara hikmah yang
dapat dipetik sebagai berikut :
1. Terwujudnya
kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
2. Terjalinnya
silaturrahmi dan hilangnya jurang pemisah antara orang kaya sebagai tuan tanah
dengan orang miskin sebagai penggarap.
3. Turut
membantu menyediakan lapangan pekerjaan kepada orang yang tidak memiliki modal
usaha atau perkebunan dsb.
4. Terhindar
dari praktek penipuan, pemerasan, dsb, karena dalam akad musaqah, muzara'ah dan
mukhabarah harus ada kejelasan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh kedua
belah pihak.
5. Turut
menciptakan pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan, karena harta
tidak hanya berputar dari satu kelompok saja.
6. Mengikuti
sunah rasulullah saw. yang termasuk perbuatan ibadah
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
etimologi, al-bai’ merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab
bâ’a , maksudnya penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun secara
terminologi, jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi
beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik
berupa ucapan maupun perbuatan Tentang disyariatkannya jual beli tercantum
dalam alquran, sunnah, ijma’, dan qiyas.Jumhur ulama membagi jual beli menjadi
dua, yaitu jual beli yang shahih dan jual beli yang batal.Apabila rukun dan
syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah/shahih/halal.Sebaliknya
apabila rukun dan syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu
batal.
. Khiyar artinya “Boleh memilih
antara dua, meneruskan akad jul beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak
jadi jual beli)”. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang
yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh,
supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu. Pembagian khiyar di bagi menjadi empat yaitu: Khiyar majlis,
Khiyar, khiyar aib.dan Khiar Ru’yah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung pemilik tanah. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan.m Musaqah
adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan
menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam
jumlah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Aziz, ,Saoifullah, Fiqih Islam Lengkap,
Surabaya: Terbit Terang, 2005.
Ali,
Hasan, Berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat, ,Jakarta:
PT.RajaGrafindo persada, 2003.
AlQur’an dan Terjemahannya
http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah
Muslich.
Ahmad wari. Fiqih Mu’amalah, Jakarta: amzah,2010.
Nasrun, Haroen, Fiqh
Muamalah. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
Suhardi, Kathur, Edisi
Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, Jakarta: Darul Falah,
2002.
Suhendi,
Hendi, Pengantar Fiqh Muamalah,
Jakarta: Bulan Bintang.
Suhendi,.Hendi, Fiqih
muamalah, Jakarta:RajaGrafindo Persada.
Syafe’i, Rachmad, Fiqh
Muamalah, Bandung :
CV Pustaka
Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir, Garis Garis Besar
Fiqh, jakarta: kencana,2003.
[1]Hasan
ali , Berbagai macam transaksi dalam islam(fiqh muamalat), jakarTa:
PT.RajaGrafindo persada, 2003. Hal.11
[3]
Opcit.hal113-114
[5]Kathur
Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta:
Darul Falah, 2002), Hal. 580
[6] Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 117
[13]
Saoifullah Al Aziz, Fiqih Islam Lengkap ( Surabaya: Terbit Terang, 2005), 337.
[14]
Muslich. Ahmad wari. Fiqih Mu’amalah (Jakarta:
amzah,2010), hal.391
[15]
Hendi suhendi. Fiqih muamalah (Jakarta:RajaGrafindo Persada), hal
145
[16]
Hendi Suhendi, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar